Senin, 23 November 2009

Perkembangan koperasi perlu perubahan persepsi

Perkembangan koperasi perlu perubahan persepsi


Akhir pekan lalu, 12 Juli, lebih dari puluhan ribu orang mengikuti acara puncak peringatan Hari Koperasi ke-61 tahun. Koperasi Indonesia kini memasuki era baru setelah melewati berbagai fase penuh dengan tantangan.
Dalam pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan keyakinannya terhadap koperasi sebagai salah satu jalan keluar mengatasi pengangguran, ataupun krisis energi dan pangan.

Presiden juga menyatakan lembaga ekonomi rakyat ini telah melakukan langkah konkret dalam beberapa tahun ini.

Hasilnya, koperasi tidak sekadar membawa manfaat ekonomi, tetapi juga kebaikan secara sosial dan mendatangkan keadilan.
Adapun Menteri Negara Koperasi dan UKM Suryadharma Ali mengajak masyarakat mengubah cara pandang terhadap koperasi, yang selalu dipersepsikan bangun usaha kelas gurem, lemah, terbelakang, dan perlu dikasihani.

Ajakan tersebut didasarkan pada fakta, bahwa sudah cukup banyak koperasi yang besar dengan aset miliaran rupiah.

Bangun usaha ini juga terbukti mampu membuka lapangan kerja baru, dan menjadi penggerak ekonomi kerakyatan.

Hal tak kalah penting, mereka sukses membagikan sisa hasil usaha kepada anggotanya.

Tengok saja Kospin Jasa Pekalongan yang memiliki aset lebih dari Rp1 triliun. Di Kota Bontang, Koperasi Unit Desa Penerus Baru yang memiliki 2.828 orang sukses menggarap beraneka usaha, termasuk menjadi perusahaan tambang batu-bara.
Di Bali, Koperasi Jasa Kelistrikan Bali (Kojalisba) berhasil menghimpun para direktur perusahaan kontraktor, sekaligus sukses membangun citra penyedia jasa listrik yang berkualitas di tingkat provinsi.

Koperasi-koperasi itu adalah sedikit contoh para kampiun lembaga ekonomi kerakyatan, yang sukses membangun inisiatif para anggota dengan memiliki kepentingan yang sama.

Mereka barangkali bisa mewakili sosok koperasi yang berhasil. Seperti dikatakan para pengurusnya, kunci sukses mereka adalah pengelolaan usaha yang profesional, tidak mencampuradukkan dengan masalah politik, dan jauh dari pengurus yang punya sifat benalu.
Berbagai fase
Dari merekalah, barangkali gerakan koperasi bisa belajar, bagaimana pilar-pilar itu dibangun untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi rakyat, seperti yang dicita-citakan Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) yang terlahir 12 Juli 1907.

Ya, koperasi Indonesia memang telah melewati perjalanan panjang dengan berbagai fase yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhannya. Kini justru dihadapkan pada persaingan global.

Pasca kemerdekaan Indonesia, koperasi justru lebih banyak dilahirkan oleh partai sebagai alat politik. Adapun pada masa Orde Baru, koperasi lebih banyak digunakan sebagai alat program, sehingga kehilangan citra sebagai lembaga yang mandiri.
Harus diakui, dengan berbagai fasilitas, seperti subsidi dan upaya perlindungan atau bentuk lainnya, koperasi telah mewujudkan swasembada pangan. Namun, setelah fasilitas itu tidak ada lagi, mereka lesu darah, dan sebagian lainnya mati.

Terakhir, koperasi harus menanggung dampak masalah tunggakan kredit program. Citra koperasi pun rusak. Padahal, pengemplang itu barangkali hanya oknum atau koperasi merpati, yang dibentuk hanya untuk merebut fasilitas. Karena setitik nila rusak susu sebelanga.

Di bagian lain, koperasi justru dipersepsikan sebagai lembaga yang memiliki politik. Ini merupakan bagian dari pengaruh fasilitas pemerintah yang berlebihan, ataupun para pelaku perkoperasian yang lebih kental dengan partai politik.
Harus diakui, tidak sedikit pengurus organisasi gerakan koperasi yang terlibat di partai politik ataupun pernah menjadi tokoh partai meski urusan berkoperasi belum sukses benar.

Kesan yang muncul adalah koperasi sekadar menjadi kuda tunggangan. Masalahnya, dalam masalah ini gerakan perkoperasian sendiri seperti enggan untuk segera melakukan pembenahan.

Hitung saja, induk koperasi anggota Dekopin yang sekadar papan nama? Paling-paling mereka baru muncul tatkala ada perebutan ketua. Meski diakui tidak sedikit jumlahnya, toh, tidak ada tindakan nyata, meski kondisi tersebut sudah bertahun-tahun.

Masyarakat, pemerintah ataupun gerakan koperasi perlu mendudukkan lembaga ekonomi rakyat ini pada posisi yang sebenarnya, dan membersihkan dari stereotip atau citra buruk yang menghinggapinya.

Hal ini karena koperasi pada dasarnya adalah badan usaha yang mandiri, profesional, dan memiliki daya saing di pasar.
Bukan kuda tunggangan, melainkan subyek yang harus mampu memberi contoh budaya modern, efisien, responsif, dan gesit menangkap peluang bisnis.

Pada akhirnya, kesiapan sumber daya manusia menjadi kunci daya saing koperasi Indonesia.

Faktor pendidikan menjadi kunci utama. Setidaknya, mereka bisa menyadari perkembangan kondisi yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar